ARSIPWawancara Utama

Nasionalisme: antara Nation-State dan Fiksi


Perayaan Upacara Kemerdekaan Republik Indonesia selalu “meriah”. Setiap tahunnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampil menggunakan berbagai pakaian adat Nusantara. Kini, pada Upacara HUT RI-ke 79, Jokowi kembali mengenakannya lagi, di tengah kasus-kasus penggusuran tanah adat yang tak kunjung usai.
Ariel Heryanto lewat wawancaranya dengan Amien, Evie, Sopril dari SINTESA pada tahun 1995 mengajak kita sejenak merefleksikan fenomena perayaan kemerdekaan di tahun ini. Sebuah perayaan yang digelar secara istimewa, ditandai dengan sikap “nasionalis”. Padahal, nasionalisme itu, bagi Ariel adalah fiksi.
LPPM SINTESA menerbitkan ulang tulisan artikel wawancara bersama Ariel Heryanto, profesor Emeritus dari Monash University, Australia, yang terbit dalam Majalah Indikator LPPM SINTESA edisi No. 10/VIII/1995.
Berikut percik-percik pikiran Ariel yang ditulis oleh Djujur T. Susila.

Mendirikan sebuah bangsa itu berat, apalagi bila sebelumnya terdiri dari bermacam suku bangsa. Jelas masih banyak yang harus diselesaikan. Mulai dari soal persatuan, kebersamaan, kesejahteraan, sampai kemungkinan berkembang. Maka ketika peringatan ulang tahun kemerdekaan mencapai angka 50 dirayakan besar-besaran, persoalan ini terus relevan meskipun sudah ada Sumpah Pemuda dan Polemik kebudayaan pada tahun 1930-an. 

Sebelum buku Ben Anderson, Reflection on The Origin & Spread of Nationalism beredar, sudah banyak buku-buku tentang nasionalisme. Tapi buku Anderson ini menjadi katalis penting untuk menggugat ulang sejumlah asumsi-asumsi yang sudah berumur 50 tahun. Nasionalisme tidak semata-mata sebagai cita-cita mendirikan nation-state. Nation-state yang di dalamnya terkandung kebudayaan atau integrasi nasional. 

Tetapi yang menjadi masalah, apa yang akan kita perbuat terhadapnya? Apa mau kita anggap lelucon yang sudah lewat saja? Apa itu sesuatu yang keramat, sesuatu yang diberikan Tuhan?

Menurut Ben Anderson, nation adalah sebuah fiksi, sama seperti cerita Maria Mercedes, Dora Emon, dan Garth. Yang membedakan kalau cerita tersebut, selesai kita menontonnya, membacanya, atau mendengarnya, selesai pula hiburan itu. Sedangkan untuk nation orang mau mati-matian perang dan saling membunuh. Fiksi tidak pernah riil sehingga bisa diejawantahkan dalam bentuk riil atau seakan-akan riil. Mirip cerita Sam Pek Eng Tay, ada aktor main di panggung, panggungnya riil tetapi ceritanya sendiri fiksi.

Orang sudah mengerjakan kajian tentang nation-state sejak 10 tahun lalu. Misalnya, tentang asal-usul Indonesia, dari mana indonesia berasal dan sejak kapan Indonesia berada? Kalau kita menyatakan Indonesia [kala itu] 50 tahun, berarti Indonesia tidak pernah dijajah. Kalau indonesia ada sejak diproklamasikan, ada dua hal yang menjadi lelucon besar. Pertama, hebat betul sebuah negara bisa dibentuk hanya dengan proklamasi. Jika demikian, kita buat saja proklamasi tiap hari agar ada negara baru. Kedua, kalau indonesia ada sejak 17 Agustus 1945, artinya tanggal 16 Agustus 1945 dan sebelumnya belum ada indonesia. Itu [state] berarti yang dijajah Belanda bukan Indonesia. Kalau begitu, sejak kapan Indonesia ada dan dijajah? Tidak pernah terjawab kecuali melalui sebuah dongeng. 

Membongkar Nation-State

Sekarang kajian tentang nation, nasionalisme, dalam ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, dan ilmu politik, banyak menggunakan teori-teori sastra. Pemakaian teori-teori sastra berimplikasi pada upaya pembongkaran fiksi secara besar-besaran. Di antaranya, menggugat persoalan entitas pribumi-non pribumi dan perempuan-laki-laki. Sedangkan zaman menuntut kita untuk menerima bahwa itu suatu fiksi, dan sering yang riil tunduk pada fiksi. Tapi jangan main-main dengan fiksi! Orang sampai mati-matian bunuh diri untuk sebuah fiksi yang dianggap riil. Ilmu-ilmu sosial dan politik selalu meremehkan fiksi. Teks fiksi sekedar dianggap menjadi teks kedua yang riil, yang dinilai benar, ilmiah, dan dianggap jiplakan dari yang riil. Nasionalisme pun masih sebatas debat intelektual. Sebab, nation-state sebagai fiksi dibuat oleh intelektual yang percaya itu [fiksi bersama], bukan dimulai oleh aparatur dan birokrat negara. Dari sini suatu pabrik fiksi tentang nation yang paling penting ada dua, yaitu novel dan pers.

Membincang nation-state menariknya bukan semata karena ia fiksi, tapi karena ia juga powerful lantaran menampilkan diri sebagai bukan fiksi. Misalnya, kita bisa lihat letak fiksi dan cara Indonesia dibuat. Kala itu, keberadaan VOC tidak berbeda dengan Matahari Dept. Store, Sogo, atau perusahaan lainnya. VOC menarik karena datang cuma untuk berdagang, tapi kemudian berkembang terus-menerus. Selain memajaki orang, mencetak mata uang, VOC membuat teritori, tentara, penjara dan pengadilan. Itu namanya state, nation-nya belum ada. Yang menjelma menjadi republik indonesia, ya, itu. Bayangkan kalau Matahari dan Sogo membuatnya. Lewat sekolah, koran, dan macam-macam, bagi penduduk yang menganggapnya aneh bisa diajari menjadi biasa. 

Salah satu kategori nation adalah teritori. Lalu sejak kapan teritori ada? 50 tahun yang lalu? Tidak! Lebih dari 250 tahun? Tidak juga.

Teritori Sumatra, Kalimantan, walaupun bisa berubah menurut waktu, tapi secara tegas kapan adanya? Apa batas teritorinya? Walaupun dalam dongeng Indonesia ada sejak abad ke-20 dan telah dijajah 350 tahun, namun sebetulnya Indonesia belum ada. Dengan demikian, sebenarnya kita itu mengkudeta Belanda karena mereka menindas lalu kita lawan. Di samping sebetulnya kita pun tidak pernah membuat [state]. Sebab dalam kisah, mitos, dongeng, dan hikayat, sejarah nasional melulu orang asing yang menjajah kita. Sementara dari sekitar tahun ’30-’40-an terjadi hubungan internasional yang sangat tegang yaitu Amerika, termasuk Belanda, yang menentukan situasi Indonesia sekarang. Kalau waktu itu sedikit diubah ceritanya, barangkali Indonesia tidak seperti sekarang. Mungkin menjadi satu bagian dengan Malaysia atau Filipina; ada Indonesia Timur dan Indonesia Barat. Proses politik seperti ini perlu dipelajari. Pembelajaran ini kerap menindas, sekedar untuk menyelesaikan sebuah fiksi bernama integrasi nasional. 

Pada titik ini fiksi itu menjadi penting. Maksud fiksi cukup jelas, dalam menghadapi musuh dengan memakai senjata yang dibawa musuh. Seperti nasionalisme kita, mengambil dari pelajaran setiap semester di sekolah-sekolah, tidak dari kerajaan Mataram maupun kerajaan Sriwijaya. Dengan itulah kita menikam Belanda. Kalau memakai bambu runcing saja—bahkan mungkin dengan ABRI—tidak bisa, harus dengan sebuah fiksi. Makanya, jangan main-main dengan fiksi. Disadari maupun tidak, demi sebuah perjuangan fiksi itu dipakai. Setiap zaman dan setiap perjuangan pun pasti ada fiksi. 

Apa yang menjadi fiksi sekarang, demokratisasi? Mimpi-mimpi Reformasi? Lantas bagaimana kita menyikapinya?

Pada zamannya nasionalisme adalah fiksi yang sangat mulia, tetapi tetap fiksi. Biar ada jasanya dan sudah menyelesaikan jasanya, jangan memperlakukannya secara statis. Bahkan menurut saya fiksi mengenai nasionalisme itu tidak akan laku lagi. Kalau begitu, mengapa kita bersama-sama di sini? Itu sama saja seperti mengapa kita ke Matahari. Dengan demikian, Indonesia ini adalah pilihan kecil dari sebuah pasar yang bernama bumi.

Lalu, kita sama semua itu apa? Perbedaan kelas, agama, ras, dan gender masih ada, dan itu bukan nasionalisme lagi. Lalu apakah dalam 50 tahun yang dikeramatkan ini kita punya tempat untuk ngomong ngomong soal-soal ini? Persoalannya, sekarang siapakah yang mengaku ‘kita’, apakah bukan sekedar nostalgia? Mungkin sekarang masalahnya adalah kesenjangan. Mengapa ada jenis kelamin yang diperlakukan seperti ini? Mengapa ada sistem agama seperti ini? Itu pun diperjuangkan dan dipersoalkan lewat sejumlah fiksi baru, tidak bisa tidak, tentu dengan cara yang berbeda. 

Sekarang demokratisasi menjadi fiksi yang sedang mode di Indonesia. Itu adalah suatu dongeng bahwa setiap rakyat mempunyai hak yang sama. Untuk menghela demokratisasi, maka lebih penting menambah jumlah media, bukan kualitas informasinya sebab itu berbeda. Kini lebih banyak telepon umum, telepon genggam, komputer, e-mail. Kalau sudah sebanyak itu, bagaimana lagi mau mengaturnya? Dan yang memperbanyaknya adalah para kapitalis bukan aktivis pro demokrasi, seperti ketika VOC datang tapi mediumnya amat politis. Meski dari sudut ilmu politik semua itu ada yang mengatur, tapi tidak dari kesusastraan. Orang mengarang puisi, dibacakan, interpretasi pendengarnya berbeda-beda. Padahal, politik itu sama seperti puisi. Seperti berita presiden sakit, siapa yang membuat berita? apa yang bisa mengontrol interpretasi pembaca-pembacanya? Atau pemilu, merayakan sesuatu kemenangan yang sudah diketahui sebelumnya, atau politik etis apa Belanda bermaksud mencerdaskan bangsa? Ya, tidak!

[Djujur T. Susila] 


Artikel disunting ulang oleh Resha Allen Islamey

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.