Separuh Membela, Separuh Menghakimi

Pada bulan November, media sosial diramaikan dengan berita penolakan pengungsi Rohingya yang ingin berlabuh di Aceh. Diberitakan pengungsi tersebut telah terombang-ambing selama hampir seminggu di perairan dekat Aceh. Usut punya usut, penolakan disinyalir disebabkan oleh perangai dan penilaian atas sifat tak menyenangkan warga Rohingya di Aceh. Dilansir dari Kompas.id (2023) keresahan warga lokal disebabkan karena warga Rohingya yang melakukan tindakan kriminal dan sangat meresahkan warga. 

Di tengah-tengah konflik Palestina dan Israel, masyarakat Indonesia melakukan dukungan yang masif untuk Palestina. Perihal bab kemanusiaan, Indonesia tidak pernah berhenti bersuara di mana pun. Praktik yang dilakukan pun tidak sedikit. Warganet membicarakannya di media sosial, para ahli melakukan debunking issues, membela, dan mencari pembenaran atas masing-masing kubu. Beberapa praktik yang telah disebutkan tampaknya tidak ada yang keliru. Tidak ada yang salah. Akan tetapi, kita acapkali mengalami keterputusan atas nalar kita sendiri dan terjebak pada logika yang sangat umum, bahwa Rohingya punya masalah sendiri dan berhak untuk ditolak. Gejolak konflik di dunia tak ayal mengingatkan kita tentang banyak sekali pihak yang menampilkan keterkaitan antara siapa yang berhak atas kebaikan maupun keburukan.

Tidak dapat dipungkiri, bahwasannya hal tersebut pasti akan membuat mual sekaligus heran. Ini menjadi titik awal argumen penulis, bahwa pada setiap konflik kemanusiaan kita selalu punya standard yang sangat politis dan asumsi yang kelewat “terstandarisasi”. Sumpah serapah atas suatu bangsa menunjukkan ceruk politis yang kurang lebih sama dan sejalan atas keinginan beberapa kelompok.

Melihat Palestina sudah selayaknya juga melihat Rohingya, begitu juga melihat celah konflik lain dan kita harus punya dependensi yang sejajar tentang mereka. Masalah kerap muncul ketika kita membela diri atas konflik yang terjadi dan menjadikannya syarat menolak kelompok tertentu. Prasangka. Pada kasus penolakan Rohingya, kita sangat politis dari segi apapun. Memilih baju kita politis, memilih makanan, menunjukkan kasih sayang, bahkan memberikan bantuan dan juga kepedulian. Penulis teringat tentang anekdot tentang sedotan. Katanya, sedotan selalu punya andil lebih besar tentang perubahan iklim. Saat orang lain menggunakan sedotan stainless dan mengurangi sedotan plastik, manusia langsung merasa punya andil atas berkurangnya kerusakan alam. Padahal, pabrik masih berjalan dan politikus masih membuat kebijakan. Begitulah kurang lebih yang terjadi dengan kasus penolakan ini. 

Permasalahan terhadap Rohingya menjadi sangat akut pada tatanan kemanusiaan. Kita memberikan pengecualian tentang bagaimana sikap orang lain, yang layak untuk ditolong dan dipedulikan. Hal ini menunjukkan bahwasannya kita selalu mencoba untuk selalu benar secara politis. Masalah dianggap sangat sederhana. Sesederhana menolak para korban konflik kemanusiaan atas dasar masalah-masalah seperti pengungsi yang kabur, pengungsi yang bertindak kriminal, mereka yang mencuri karena makannya terasa tak mengenyangkan. Padahal, tindakan tersebut berada pada babak yang dapat diselesaikan melalui jalur hukum yang berlaku. Selalu. Padahal pula, apabila dapat bijak untuk melihat ke belakang, kita memberi kesempatan pada orang yang kesusahan dengan mengedepankan empati dan simpati tanpa kepentingan tertentu. 

Curiga. Kita lupa bahwasannya orang kesusahan dan butuh bantuan juga mempunyai kesempatan untuk berbuat jahat. Memang terdengar sangat asumtif, tetapi, cara pandang ini harus kita pelihara agar dapat menjadi manusia yang menurut Pramoedya Ananta Toer, adil sejak dalam pikiran. Menjadi manusia yang tidak mengadopsi cara pandang biner. Sebab bineritas membawa kita pada kebaikan yang selalu punya syarat. Syarat selalu punya kriteria dan urutan, seperti kamu ingin bekerja atau ingin bersekolah. Semua harus urut secara administratif dan ketentuan. 

Tulisan ini adalah bentuk keresahan dan sekaligus ingin memberi tahu pada kita semua, bahwa menjadi benar dan bijak haruslah total. Bila kamu punya “kecuali” pada tiap-tiap tingkah laku, sebagaimana kamu bersyarat pada para pengungsi yang ingin meminta pertolonganmu, lebih baik jangan kau beri. Jangan kamu jual pula beras yang murah, pada mereka yang kakinya bernanah dan telapaknya memerah karena darah.

Penulis: Alit Akhiral 

Penyunting: NAJ 

 

Referensi

Kompas. (2023). Alasan di Balik Penolakan Warga Aceh terhadap Kedatangan Pengungsi Rohingya. In G. M. Finesso (Ed.), Kompas..id. https://www.kompas.id/baca/video/2023/12/03/alasan-di-balik-penolakan-warga-aceh-terhadap-kedatangan-pengungsi-rohingya 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.