LisensiREDAKSI

Bekerja Tanpa Perjanjian, Pekerja Magang Rawan Dieksploitasi

Selasa (04/06), Dewan Mahasiswa Fisipol UGM bersama Serikat Pekerja Fisipol UGM mengadakan diskusi bertema “Pekerja Mahasiswa: Eksploitasi, Relasi Kuasa, dan Kesejahteraan Pekerja?”. Diskusi yang dipandu oleh Iradat Wirid dari Serikat Pekerja Fisipol UGM ini berlangsung di Taman Sansiro, Fisipol UGM. Diskusi ini turut menghadirkan tiga pembicara, yaitu Satriya Nugroho, staf kajian strategis Dema Fisipol UGM; Jasmine Yasinta, mahasiswa Ilmu Komunikasi UGM dan pekerja paruh waktu di CFDs; serta  Joash Tapiheru, Dosen DPP UGM. 

Diskusi diawali dengan cerita pengalaman Satriya sebagai peserta magang di salah satu unit kerja departemen Fisipol UGM. Awalnya, Satria sama seperti kebanyakan mahasiswa, salah kaprah menilai sistem magang sebagai sarana pembelajaran yang bebas dari eksploitasi. Hal tersebut membuat bentuk-bentuk eksploitasi di tempat magang akhirnya dinormalisasi. Eksploitasi pertama yang dirasakan oleh Satriya adalah ketika dirinya tidak mendapatkan perjanjian pra-magang yang mengatur terkait jam kerja, tugas, upah, dan hak dasar peserta magang. Begitu juga terkait bimbingan tugas magang yang tidak didapatkan. “Kita magang berharap mendapat bimbingan, tetapi malah terkesan seperti tenaga kerja tambahan kalau pekerja tetap ini tidak mampu menangani tugasnya. Apalagi saya magang di divisi media yang selama membuat konten di lapangan hanya learning by doing saja,” tuturnya.

Eksploitasi terhadap pekerja mahasiswa juga dialami oleh Yasinta ketika ia menjadi peserta magang di tingkat fakultas dan universitas. Menurut Yasinta, eksploitasi tersebut hadir dalam berbagai bentuk, di antaranya adalah ketidakjelasan kontrak kerja dan jam kerja yang berlebih. “Sistem klaim tanggung jawab kerja yang kurang jelas membuat kita mengalami kerja berlebih karena kadang kita mengedit di luar jam kerja dan masih ada revisi yang diberikan di luar jam kerja atau hari libur,” terangnya. Yasinta kemudian turut menyinggung terkait ketidakpastian waktu pembayaran upah yang dialami olehnya sebagai pekerja mahasiswa, khususnya ketika dirinya menjadi peneliti lepas.

Di sisi lain, Joash menganggap bahwa fenomena magang yang dialami mahasiswa terjadi  akibat adanya pergeseran arti penting magang. Dalam pandangan Joash, pergeseran tersebut terjadi secara cepat sehingga aturan yang mengatur terkait hubungan kerja belum mampu melakukan penyesuaian terhadap perubahan yang ada. Joash juga menyebut faktor prestise sebagai alasan mendasar mengapa mahasiswa memilih untuk tetap melakukan magang meski tidak memiliki jaminan atas upah dan beban kerja. “Itu (prestise) menjadi penjelasan mengapa tren magang yang seperti sekarang berlangsung dan reproduksi,” ungkap Joash. 

Masih dalam kesempatan yang sama, Satriya kemudian menjelaskan alasan sebagian mahasiswa melakukan magang. Baginya, magang tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa untuk mendapat pujian dari orang lain, tetapi lebih untuk memperoleh kepuasan dan rasa bangga pada diri sendiri. Satriya pun menyebut bahwa kondisi pasar tenaga kerja yang tidak pasti mendorong mahasiswa untuk memilih menjadi tenaga kerja murah melalui sistem magang. “Sebenarnya itu untuk diri mereka sendiri agar mereka merasa dengan pengalaman magang di kampus, misalnya dalam empat tahun melakukan tujuh kali magang atau delapan kali magang kemudian dapat diterima di pasar tenaga kerja,” jelasnya.  

Sementara itu, Yasinta menggunakan asisten praktikum sebagai studi kasus mengapa mahasiswa melakukan magang. Tugas akhir yang sejalan dengan praktikum membuat para asisten memiliki akses yang lebih mudah ke laboratorium. Namun, menurut Yasinta, kemudahan tersebut turut membuat asisten praktikum berada dalam posisi rentan akibat tumpang tindihnya tanggung jawab  akademik dan tanggung jawab kerja. Kerentanan para asisten praktikum juga diperburuk dengan tidak adanya jaminan terkait kecelakaan kerja yang rawan terjadi di laboratorium serta upah yang tidak sebanding dengan beban kerja. “Mereka (asisten praktikum) bayarannya 300.000-400.000 dalam satu semester, sementara mereka harus bekerja tiga sampai empat jam atau delapan jam seminggu,” imbuh Yasinta.

Merespons keresahan yang dialami mahasiswa, Joash menyebut beberapa upaya untuk menghindari terjadinya eksploitasi kepada pekerja magang, salah satunya dengan keberadaan kelayakan etik dalam ranah kerja penelitian. Proses internalisasi etik perlu dilakukan secara intensif untuk meningkatkan kesadaran bersama sekaligus menciptakan standar etika penelitian bagi seluruh ilmuwan. “Kalau saya (ilmuwan) melakukan penelitian, tapi dengan melakukan praktik yang sifatnya eksploitatif kemudian malah akan mencederai ilmu yang saya hasilkan. Itu perlu didudukkan agar kita memiliki kesadaran etis,” paparnya. 

Selain itu, Joash juga mengungkapkan pentingnya kesepakatan peraturan, salah satunya terkait peraturan jam kerja. Menurutnya, apabila kerja penuh waktu dihitung seminggu empat puluh jam, maka mahasiswa pekerja paruh waktu memiliki jam kerja maksimal selama dua puluh jam setiap minggunya. Joash juga menyebut terkait pemberi kerja wajib memberi pelatihan keterampilan kerja sembari tetap memberi upah yang layak kepada pekerja mahasiswa selama kegiatan pelatihan. “Itu [upah laboran 300.000-400.000 per semester] menjadi salah satu hal yang menuntut adanya kesepakatan aturan yang lebih jelas ya,” tutup Joash.

 

Penulis: Desti Nicawati & Nasywa Putri Wulandari

Penyunting: Devira Khumaira

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.