LisensiREDAKSI

Kebiri Kebebasan Pers dalam RUU Penyiaran

Selasa (21/5), Forum Penyelamat Media dan Demokrasi (FPMD) bersama Forum Cik Di Tiro menggelar diskusi publik bertajuk “Aksi Memperingati 26 Tahun Reformasi dan Menolak RUU Penyiaran” di Gedung Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia Yogyakarta (YBW UII). Forum ini diisi oleh tiga narasumber utama, yakni Eko Riyadi (Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII), Darmanto (Forum Penyelamat Media dan Demokrasi), dan Pito Agustin Rudiana (Jurnalis Tempo). Diskusi ini digelar untuk memperjuangkan kebebasan pers terkait dengan isu RUU Penyiaran yang terus bergulir.

Diskusi dibuka oleh Eko dengan refleksi 26 tahun pasca reformasi dalam konteks penegakan HAM dan tata kelembagaan negara. Eko menjelaskan bahwa sampai saat ini warga sipil masih memperjuangkan hak kebebasan berdemokrasi. Direnggutnya kebebasan ini seharusnya menjadi kewajiban dari lembaga negara untuk mencapai keadilan bersama. “Nampaknya isu-isu politik dan isu-isu lainnya harus kita sejajarkan. Mulai dari isu pers, pendidikan, lingkungan itu semua harus kita suarakan bersama-sama,” ujarnya. 

Permasalahan demokrasi sejalan dengan isu krusial berupa kemunculan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang saat ini sedang dilegislasi oleh Komisi I DPR RI periode 2019-2024. Darmanto, menjelaskan secara rinci alur penyempitan ruang pers, media, dan komunikasi. Awalnya, dimulai dari UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran, ‘diamputasi’ oleh UU Cipta Kerja, dan semakin diperparah oleh RUU Penyiaran Tahun 2024. Proses inilah yang menjadikan penyempitan ruang bersuara, utamanya bagi komunitas penyiaran lokal di Indonesia. Di sisi lain, Darmanto memprediksi bahwa Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan Radio Republik Indonesia (RRI) tidak akan melakukan penolakan terhadap RUU Penyiaran karena statusnya merupakan aset negara yang biaya operasionalnya akan ditanggung oleh APBN. “Radio di Indonesia sedang diambang kehancuran, membayar 2,5 juta pertahun untuk frekuensi itu masalah besar bagi komunitas,” ujarnya. Lain halnya dengan nasib komunitas atau lembaga penyiaran lokal yang harus membayar lebih untuk frekuensi publikasi.

Melanjutkan pembahasan, Pito mencoba mengajak audiens untuk merenungkan nasib media pers selama satu dekade terakhir. “Kita sempat  bangga adanya UU No. 40 Tahun 1999 yang menjamin kemerdekaan pers sebagai produk hukum demokratis, teman-teman jurnalis tidak lagi takut untuk mengkritisi pemerintah saat itu,” katanya. Tidak heran semenjak era Reformasi, pertumbuhan media cukup pesat.

“Semuanya tergantung pada rezim yang berkuasa, rezim saat ini telah mengembalikkan nasib pers ke zaman Orde Baru,” ucap Pito. Revisi UU ITE hingga RUU Penyiaran telah membuktikan bagaimana rezim Jokowi berusaha ‘mengkriminalisasi’ media pers melalui berbagai pasal karet. “Ketika teman-teman pers membahas isu sensitif, terutama isu lingkungan, pertambangan, kontroversi IKN, perjuangan masyarakat adat, terbaru soal krisis air di Nusa Dua, Bali. Udah nggak ada payung hukum buat menjamin keamanan kita,” terang Pito. Ia juga menekankan perlunya tanggung jawab publik untuk menolak keras RUU Penyiaran karena keterbatasan publik untuk bersuara dan itu hanya bisa dilakukan melalui pers.

Dalam kesempatan ini, Roy Suryo turut mengapresiasi Forum Cik Di Tiro yang berani mengambil sikap menentang pasal-pasal polemik dalam RUU Penyiaran. Terdapat tiga hal krusial dari Pasal 40 hingga Pasal 50 yang mencederai kebebasan pers, khususnya pasal 50B Ayat (2) huruf C tentang Pelarangan Tayangan Eksklusif Investigasi Jurnalistik. RUU Penyiaran tidak hanya membatasi hak media pers, tetapi juga mengancam konten yang dibuat oleh publik (user generated content). “Jurnalistik itu karya tulis yang nggak mesti dibuat jurnalis, kadang ide liputan bagus dibuat oleh masyarakat. Ibaratnya masyarakat bukan hanya konsumen tapi juga produsen,” tutur Roy Suryo. RUU Penyiaran membuat beberapa pasal di dalamnya tumpang tindih dengan UU Pers terkait pemberian kewenangan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik. “Nanti konten baik di Youtube maupun TikTok itu harus melalui verifikasi KPI. Apakah layak tayang atau tidak. Revisi UU penyiaran diharapkan bisa mengakomodasi hak-hak jurnalis lebih baik, bukan malah balik lagi ke ORBA [mengekang pers],” ucapnya. 

Penulis: Desti Nicawati & Alya Rahma

Penyunting: Devira Khumaira

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.