LisensiREDAKSI

Kutukan Pariwisata dalam Relokasi PKL Borobudur

 

“Kebudayaan itu kerjaannya orang banyak, bukan kerjaanya PT TWC!”

Ucap moderator dalam  diskusi “Ratusan PKL Borobudur Terlantar Pasca Digusur PT TWC: di mana Peran Negara?” di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta pada hari Rabu (21/08). Diskusi ini merupakan respons atas relokasi yang dilakukan PT Taman Wisata Candi (TWC), mengakibatkan terlantarnya Pedagang Kaki Lima (PKL) kawasan Borobudur.

Diskusi dibuka dengan penjabaran singkat isu oleh Adhi Pandoyo selaku moderator. Dirinya mengatakan jika relokasi ini dilakukan PT TWC agar kawasan Candi Borobudur sebagai cagar budaya steril. Karenanya, para PKL rencananya akan dipindahkan ke Pasar Seni Pujon di sebelah barat kawasan Candi Borobudur yang sedang dalam pembangunan. Namun, kata Adhi,  lapak yang disediakan terbatas sehingga tidak bisa mengakomodasi semua pedagang. “[Dari] 1943 [PKL] itu hanya disediakan 1.300, artinya lapak sementara saja itu tidak mencukupi kebutuhan,” papar Adhi.

Hindarti, seorang perwakilan PKL Borobudur, mengungkapkan kekesalannya terkait relokasi. Ia mengaku tidak pernah mendapatkan informasi apapun berkenaan dengan pemindahan dan karenanya ia tidak memperoleh jatah lapak sementara. Selain itu, ia juga mengaku belum mendapatkan jaminan yang pasti terkait relokasi. “Kita di sana itu kapan dan dengan kapasitas berapa itu kita belum tau,” ucap Hindarti.

Selanjutnya, Yesaya Sandang, seorang Peneliti Pariwisata dan Ekonomi Pembangunan ikut memaparkan pandangan ilmiahnya dalam forum diskusi. Menurutnya, persoalan ini muncul karena ada pandangan umum yang mengatakan bahwa pariwisata mesti dikelola dengan gaya industrial. “Oleh karena itu, bisa kita temukan bagaimana Candi Borobudur dipasrahkan pada sebuah PT, dalam hal ini PT TWC,” jelas Yesaya. Baginya, situasi pariwisata yang dikelola dengan gaya industrial seperti ini seringkali membuat pihak tertentu tersingkirkan.

Lebih lanjut, Yesaya menegaskan jika pariwisata ingin dikelola oleh perusahaan dengan gaya kompetitif seperti ini, maka perusahaan tersebut  juga harus melindungi dan memenuhi hak-hak warga sekitar. Ini yang perlu digarisbawahi karena menurutnya ada tendensi dari PT TWC yang ingin melepas tanggung jawab itu. “Sehingga seolah-olah kalau saya baca di berita, mau dikondisikan semacam konflik horizontal,” duga Yesaya.

Pandangan lanjutan datang dari Royan, perwakilan LBH Yogyakarta selaku pendamping kasus ini. Royan memaparkan bahwa  terdapat praktik pilih kasih di level implementasi kebijakan. Mengutip UNESCO, Royan berkata jika aktivitas komersil di zona penyanggah candi bisa mengganggu kelestarian candi. Padahal, di zona tersebut juga terdapat hotel milik PT TWC. “Terus pedagang dituduh sebagai faktor yang paling mengganggu. Ini kan aneh,” ujar Royan.

Tidak berhenti di situ, masalah selanjutnya timbul dari polemik lapak sementara yang disediakan oleh PT TWC. Ujar Royan, pada awal relokasi PKL Borobudur, tidak ada rencana dari PT TWC untuk menyediakan lapak sementara. Para PKL ditelantarkan begitu saja tanpa kepastian sembari menunggu Pasar Seni Pujon rampung dibangun. PT TWC baru menyediakan lapak sementara ketika ada desakan yang dilontarkan oleh para PKL. “Andai pedagang tidak mendesak, saya yakin TWC tidak akan membangun itu [lapak sementara],” tandas Royan.

Di sisi lain, Royan menyebutkan bahwa terdapat  oknum pemerintah yang ikut ‘cawe-cawe’ dalam urusan internal pedagang. Sebagai contoh, para pedagang yang ikut bersuara terkait dengan kasus ini diancam oleh oknum tersebut. Mereka diancam tidak akan mendapatkan tempat di Pasar Seni Pujon. “Di sini kita menemukan kalau ada upaya dari oknum pemerintah yang mengecam pedagang,” ucap Royan.

Oleh sebab itu, usaha advokasi terus dilakukan LBH Yogyakarta dalam rangka mengawal kasus ini. Hal tersebut dikarenakan PT. TWC memutus komunikasi dengan pedagang sehingga tidak ada kejelasan terkait kelanjutan kasus ini. “Tidak ada komunikasi sama sekali,” tegas Royan.

Mengakhiri diskusi, Royan berharap agar kasus ini terus dikawal oleh berbagai media sebab PT TWC juga sangat ketat dalam mengontrol media. “Makannya teman-teman pedagang juga berharap temen-teman jurnalis bisa mengawal di sana,” pungkasnya.

Penulis: Hanan Athariq Al Hanif
Penyunting: Devira Khumaira

Fotografer: LBH Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.