REDAKSISuara Fisipol

Logika Merdeka Belajar Dituntun Pasar

         Pendidikan tinggi (PT) sedang mengalami keresahan akibat banyaknya lulusan sarjana dan diploma yang tidak dapat mengakses pekerjaan. Sekitar 871.860 (5,63%) lulusan sarjana dan 173.846 (4,87%) lulusan diploma sedang menganggur. Ida Fauziah, Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia, menyatakan bahwa terdapat gap masalah link and match pendidikan dan industri bagi lulusan sarjana dan diploma. 

Permasalahan ini sangat krusial karena menyinggung hak hidup manusia dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk mengatasinya, mungkin juga untuk menjawab perkembangan teknologi dan ekonomi global, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah menginisiasi program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Salah satu program unggulan di dalam MBKM adalah Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB), yang mendorong adanya keterlibatan kolaboratif antara PT, mahasiswa, dan dunia industri.

         MSIB memberikan pengalaman dan pengasahan keterampilan bagi mahasiswa untuk beradaptasi dengan sistem serta kebutuhan kerja suatu industri. Tak hanya itu, mahasiswa juga berpeluang dalam membangun jejaring kerja profesional. Harapannya, ketika mahasiswa sudah lulus, mereka dapat langsung mengaplikasikan pengalaman magang dalam industri, tanpa melalui proses belajar ulang karena memakan waktu produktif. Namun, sedikit catatan kritis mengenai program MSIB: praktik untuk menghegemoni pengetahuan, mendorong vokasionalisasi pendidikan, dan memasifkan praktik neoliberalisasi pendidikan.

Membaca Kembali Logika Link and Match

         Sejak dibuka pada tahun 2021 lalu, MSIB memiliki peminat yang sangat banyak,  diikuti dengan pertumbuhan kuota program terbanyak dibandingkan program MBKM lainnya. Program ini didesain untuk menghilangkan gap antara pendidikan dan dunia industri melalui logika link and match, yaitu mendorong kompetensi PT, mahasiswa, dan dunia industri agar siap menghadapi era industri 5.0. Era ini mendorong aktivitas kerja kolaboratif yang fokus pada hal-hal inovatif, kreatif, efisien, dan efektif melalui penguasaan terhadap teknologi mutakhir serta bermacam karakter dan keterampilan industrial. Dengan demikian, luaran dari logika link and match dalam MSIB bertujuan untuk mencetak mahasiswa yang memiliki jiwa kompetisi dan kompetensi tinggi untuk pembangunan ekonomi.

         Logika link and match sangat mudah diterima oleh masyarakat, terlebih logika ini sangat rasional dengan melihat dinamika perkembangan dunia. Namun, logika link and match justru menegaskan fokus, peran, dan posisi pendidikan yang diarahkan pada pertumbuhan ekonomi semata. Perlu disadari bahwa MSIB turut mengaburkan makna dari kerja dan aktivitas kerja itu sendiri. Misalnya, MSIB mengartikan bahwa magang merupakan ‘pembelajaran di luar kelas’, bukan aktivitas kerja profesional. Parahnya, mahasiswa “dipaksa” melakukan kerja, tanpa mengetahui hak dan kewajiban sebagai pekerja. Hal ini memperlihatkan ketidakpedulian instansi pendidikan, baik Kemendikbudristek maupun PT, yang tega “memperjualbelikan” mahasiswa secara tenaga, waktu, dan mental, kepada industri dan pasar bebas. Akhirnya, mahasiswa yang menerima segala konsekuensi dan kondisi rentan dari logika ini; mahasiswa mesti melakukan reflektivitas secara mandiri atas realita yang rentan dan penuh risiko, khususnya mengenai kerja.

Kemerdekaan atau Ketertundukan?

         MSIB menawarkan mahasiswa untuk melakukan magang selama dua semester yang dapat dikonversikan hingga 40 SKS. Tentu saja, hal ini adalah suatu keuntungan bagi mahasiswa, terutama ketika mereka harus menghadapi mata kuliah yang berisi dosen killer atau mata kuliah yang sulit mendapatkan nilai sempurna. Selain itu, mahasiswa juga leluasa mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baru dari luar kelas. Namun, apakah itu keuntungan sebenarnya? Atau hanya ketertundukan mahasiswa atas realita dunia?

         Keuntungan ini adalah bentuk dari ketidakberdayaan mahasiswa, dan masyarakat secara luas, dalam melawan upaya penundukan oleh kapital. Kritik Marx (1977) terhadap kerja, yang hanya digunakan untuk memenuhi “kebutuhan fisik”, menempatkan manusia pada kondisi keterasingan atau alienasi. Dominasi logika ekonomi kapitalistik tidak hanya menuntun pada pola pikir dan perilaku manusia, melainkan juga kesadaran. Dominasi ini menjauhkan manusia dari kediriannya dan sikap revolusioner dan menggantikannya dengan sikap konformis.

         Meskipun demikian, hal ini tidak dapat dilihat sebagai kesalahan dari mahasiswa. Institusi pendidikan, yang direpresentasikan oleh PT, juga turut dalam inisiator “kemerdekaan” pembelajaran. Sebagai aparatus ideologi negara, pendidikan berupaya dalam normalisasi hubungan ketertundukan masyarakat terhadap kapitalisme. Hal ini dapat dilihat aktivitas PT setelah disahkannya UU Perguruan Tinggi Negeri-Berbadan Hukum (PTN-BH), babak baru dari otonomisasi PT setelah digagalkannya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP). PTN-BH menjadi salah satu landasan hukum dari implementasi program MBKM, termasuk MSIB. Singkatnya, PTN-BH telah menjadikan pendidikan sebagai sektor komersial dengan menjadikan statusnya sebagai badan hukum. Alhasil, PT harus menutup biaya operasional dari kerja sama dengan berbagai industri akibat pemutusan sebagian subsidi. Dengan demikian, hubungan antara pendidikan dengan industri telah dinormalisasi, bahkan oleh PT itu sendiri.

Melihat MSIB sebagai (Salah Satu) Manifestasi Neoliberalisasi Pendidikan

         Bourdieu (dalam Davey, 2012) telah menyebutkan bahwa pendidikan berbayar, termasuk PT, merupakan sarana kelas menengah-atas dalam memanfaatkan eksklusivitas demi produksi dan reproduksi kapital dan jejaringnya. Hal ini dilegitimasi dengan PTN-BH yang mempersulit akses masyarakat kelas menengah dan bawah dalam mengenyam pendidikan. PTN-BH telah menyebabkan berbagai kebuntuan dalam inklusivitas ekonomi masyarakat, mulai dari semakin banyaknya penerimaan jalur mandiri dengan serangkaian pembayaran tertentu, hingga semakin mahalnya biaya pendidikan PT. Dengan demikian, PT memang didesain tidak aksesibel secara ekonomi oleh negara dan pasar.

         Alih-alih meningkatkan kualitas masyarakat dari aksesibilitas terhadap pendidikan, negara, yang direpresentasikan oleh Kemendikbudristek, justru semakin memperdalam kesenjangan itu dengan mengadakan latihan dan pembelajaran kerja khusus untuk mahasiswa melalui logika link and match. Langkah ini bukan berarti salah, tetapi perlu ditelusuri lanjut bagaimana semestinya dinamika dan budaya akademik dalam PT itu sendiri. Perlu disadari bahwa logika link and match merupakan upaya hegemoni pengetahuan. Hegemoni ini muncul dari pandangan mengenai taraf kebermanfaatan suatu pengetahuan melalui nilai guna ekonomis. 

Secara kritis, logika link and match telah menunjukkan bahwa pendidikan mengaplikasikan sistem supply-demand dengan memberikan apresiasi berlebih terhadap suatu bidang ilmu yang sesuai kebutuhan pasar. Hal ini dapat dilihat dari argumentasi pembangunan bidang ilmu yang cenderung timpang, seperti teknik dan kedokteran yang sangat dielu-elukan. Selain itu, terdapat “permainan” media dalam produksi wacana mengenai “bidang ilmu yang paling disesali”, yang diisi oleh bidang ilmu sosial-humaniora. Selain hegemoni pengetahuan, logika link and match juga tidak mengakomodasi sektor kerja “asli” Indonesia, seperti pertanian dan kelautan yang mulai terlupakan.

         Kemendikbudristek telah mengaburkan batas-batas antara pendidikan dan pelatihan. Munculnya MSIB dilihat sebagai upaya vokasionalisasi pendidikan, yakni penyatuan antara pendidikan dengan kerja industrial atau lebih dikenal sebagai pendidikan kejuruan. Sebuah sistem yang memaksa mahasiswa bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi, membatasi kebebasan minat berdasar pada kebutuhan industri kapitalis. Namun, hal ini telah dibalut dengan pandangan baru, yaitu prakondisi untuk menghadapi ketakutan dan kekhawatiran terhadap kondisi dunia kerja saat ini.

         MSIB sebenarnya merupakan program yang sangat bagus. Akan tetapi, perlu beberapa penyesuaian ulang. Misalnya, sektor magang yang ditawarkan tidak terbatas pada industri, tetapi dapat diberikan tambahan sektor di bidang pertanian dan kelautan agar negara dapat lebih mengapresiasi dinamika agraria yang menjadi jati diri Indonesia. Satu hal yang pasti, MSIB harus diakses oleh mahasiswa selama satu tahun setelah selesai dinamika perkuliahan agar kegiatan perkuliahan, seperti belajar dan berorganisasi, tidak diganggu dengan praktik kerja. Dengan demikian, terdapat batas jelas yang memisahkan antara pendidikan dan pelatihan kerja. Namun, penyesuaian ini hanya dilakukan setelah PT di Indonesia aksesibel; dapat menampung masyarakat dari golongan mana pun.


Penulis:  Bagas Damarjati, individu yang sedang mencari makna ‘merdeka’. Aktif berorganisasi di Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) dan Serikat Merdeka Sejahtera.

Ilustrator: Aqeela Izza Aulia


DAFTAR PUSTAKA

Davey, G. (2012). Using Bourdieu’s Concept of Doxa to Illuminate Classed Practice in an English Fee-paying School. British Journal of Sociology of Education, 33(4), 507-525.

Marx, K. (1977). Economic and Philosophic Manuscript of 1844, ed. terj (en). Moscow: Progress Publisher.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.