LisensiREDAKSI

Menggali Kerangka Interseksionalitas dari Diskriminasi Perempuan Masyarakat Adat dalam Diskusi Estungkara DEMA Fisipol UGM

Sumber: dokumentasi pribadi

DEMA Fisipol UGM menyelenggarakan rangkaian acara “Estungkara Roadshow Kampus“ pada Selasa (26/9) dengan menyajikan diskusi interaktif berjudul “Enigma Perempuan: Potret Perlawanan Perempuan dalam Masyarakat Hukum Adat”. Diskusi berlangsung di Selasar Barat Fisipol UGM dengan mengundang Hasna Sasongko yang merupakan perempuan adat dari Kulawi, Syaiful sebagai Direktur Karsa Institute, Dr. Samsul Maarif selaku dosen Antropologi dan CRCS UGM, hingga Michelin Sallata sebagai ketua BPAN untuk menjadi narasumber. Sembari merayakan seni melalui pengadaan pameran, acara diskusi dimaksudkan untuk membuka ruang berbagi atas topik berkerangka interseksionalitas mengenai perempuan dan masyarakat adat sebagai identitas yang terbelenggu dalam menyuarakan aspirasi serta haknya. Muncul urgensi untuk membahas proses estungkara atau yang bisa dipahami sebagai proses kesanggupan melakukan pendampingan dan bimbingan dalam menghadapi perubahan sebagai masalah dalam lingkungan masyarakat adat.

Hasna sebagai representasi masyarakat adat membagi pengalamannya mengenai kehidupan sosial perempuan masyarakat adat di antara hukum yang patriarkis. Terdapat pergeseran prinsip gotong royong dan moto menjaga keberlangsungan alam. Anak laki-laki seringkali mendapat prioritas, utamanya mengenai pembagian harta. Awalnya, di Kulawi daerah tempat Hasna, masih terdapat eksistensi pemahaman peran perempuan di masa sebelum kedatangan Belanda. Hasna menjelaskan bahwa perempuan dulunya memegang posisi penting, bahkan turut memimpin beberapa aspek kehidupan. Perempuan dihormati sebagai tempat meminta pendapat dalam mengatasi permasalahan ataupun membuat keputusan krusial, tetapi sekarang tidak lagi. “Peran perempuan semakin terkikis sejak kedatangan Belanda dan sekarang kami hanya dianggap sebagai pelengkap dalam proses musyawarah tanpa suara yang didengarkan,” terang Hasna.

Syaiful dari Karsa Institute yang mendampingi komunitas adat Kulawi menjelaskan bahwa Kulawi merupakan wilayah yang terisolir dan tidak mendapat porsi pemerataan pembangunan. Hal tersebut memperparah kondisi masyarakat Kulawi yang juga harus menghadapi konflik dalam hal pengakuan wilayah dan akses ke hutan. Pembukaan jalan Trans Sulawesi tak ketinggalan memperparah kondisi masyarakat adat di sana sebab nilai-nilai yang mereka anut akan rawan tergeser lebih jauh. Dalam aspek perempuan, Syaiful menambahkan, “Tantangan yang akhirnya muncul mengusik perempuan ialah mereka akhirnya harus berada dalam posisi subordinat di dalam struktur masyarakat oleh bahasa dan sistem sosial.” Diskriminasi yang diterima oleh perempuan adat semakin ‘mengobarkan’ bentuk-bentuk patriarki. Syamsul menjabarkan bila perempuan adat seringkali dihadapkan pada tantangan untuk menghadapi situasi yang penuh akan tekanan dari kelompok luar. “Di dalam masyarakat adat sendiri, hierarki sudah menjadi bagian dari sistem dan perempuan seringkali berada di posisi terbawah,” jelas Syamsul.

Michelin tak ingin luput menuangkan perspektifnya dengan mengatakan, “Ketika perempuan kehilangan ruang partisipasinya, ini merupakan kerugian besar bagi masyarakat adat.” Perempuan adat bekerja keras melindungi wilayah adat yang tersisa. Sebagai perempuan adat, dirinya menjelaskan bahwa ketika bumi dirusak, maka perempuanlah yang merasakan beratnya beban. Ketika tanah yang mereka rawat sakit, mereka pun turut merasakan sakit. “Dalam situasi seperti ini, perlu adanya kesadaran, pendidikan, dan dukungan untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat,” pungkas Michelin.

Isu yang menimpa perempuan adat perlu mendapat lebih banyak atensi dari berbagai pihak. Seperti yang dijelaskan oleh Syamsul, penting untuk memahami peran perempuan dalam konteks adat, saat ruang dianggap sebagai peluang. “Dengan memahami kompleksitas, maka dapat dimulai perjalanan menuju pengakuan dan pemberian ruang yang lebih adil lagi bagi perempuan dalam konteks masyarakat adat,” ungkap Syamsul. Siapa saja, bahkan utamanya mahasiswa harus mampu menjadi pihak yang turut mampu mengakomodasi kepentingan perempuan masyarakat adat, seperti mengenali apa dan siapa perempuan masyarakat adat itu sendiri. Estungkara harus terus digerakkan demi melindungi mereka yang terenggut haknya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.