LisensiREDAKSI

Menuju Berserikat, Survei Ungkap Pekerja UGM dalam Kondisi Rentan

Komite Persiapan Serikat Pekerja UGM bersama Serikat Pekerja Fisipol (SPF) menggelar diskusi dan pemaparan hasil survei kondisi kerja pekerja UGM pada Kamis (11/7). Selain dipandu oleh Suci Lestari Yuana, diskusi menghadirkan Muchtar Habibie, anggota Komite Persiapan Serikat Pekerja UGM sebagai pembicara dan Amalinda Savirani, Ketua SPF sebagai penanggap.  Diskusi yang bertempat di Taman Sansiro Fisipol UGM ini menyoroti hasil survei yang memetakan kondisi kerja para dosen dan tenaga kependidikan (tendik). 

Mengawali pemaparan, Muchtar menyampaikan terkait 211 komponen responden dari berbagai fakultas, di antaranya merupakan 136 dosen dan 75 tendik. Namun, Muchtar turut menyebut bahwa survei yang telah dilakukan tidak diikuti oleh keseluruhan fakultas. “Fakultas yang dosen dan tendiknya banyak mengikuti survei, berarti mungkin masih ada keresahan terhadap kesejahteraannya dibandingkan dengan fakultas yang tidak banyak berpartisipasi dalam survei,” ungkapnya. Kendati belum mewakili seluruh pekerja, bagi Muchtar,  survei tersebut memberi gambaran tentang kondisi kerja di UGM.

Melanjutkan pemaparan, Muchtar beralih membahas terkait kontrak kerja. Meski survei menunjukkan bahwa sebagian besar responden menerima kontrak kerja, Muchtar menilai kualitas dari kontrak kerja yang diberikan masih menjadi persoalan serius. Menurutnya, kontrak yang diberikan kepada dosen dan tendik di UGM seringkali terlalu umum sehingga tidak mengakomodasi isu-isu hak dan kewajiban kerja secara spesifik. “Biasanya di kontrak kerja tidak dijelaskan kewajiban dan haknya apa, termasuk jumlah upah yang juga tidak diatur didalamnya,” terang Muchtar.

Terkait kualitas kontrak kerja yang buruk, Muchtar turut menjelaskan implikasi lebih dalam yang dapat ditimbulkan oleh permasalahan tersebut. Konsekuensinya, menurut Muchtar, kontrak kerja yang sejak awal tidak diatur secara rinci dapat menjadi penyebab dari tidak ditepatinya janji-janji kerja. “Misalnya, pekerjaan non ASN itu oleh pemberi kerja dijanjikan sama dengan ASN, tapi ternyata dalam kenyataannya agak beda,” ujarnya Muchtar. 

Muchtar melanjutkan pemaparan hasil survei tentang persoalan upah yang dihadapi pekerja. Ia membeberkan bahwasanya pendapatan pekerja kampus, utamanya dosen, lebih banyak didapat dari selain gaji pokok atau pendapatan tidak teratur. Selanjutnya, Muchtar menjelaskan jika sebagian besar pendapatan pekerja UGM berasal dari luar kampus. “Kalau hanya mengandalkan gaji pokok saja, (pendapatan) dosen itu hampir semuanya minus dibanding pengeluarannya,” keluhnya.

Muchtar lantas menerangkan temuan survei mengenai jam kerja dosen yang di atas taraf normal, berimplikasi pada tingkat keseimbangan hidup dan kerja. Menurutnya, sekitar 50% dosen dengan jam kerja di atas 8 jam merasa bahwa waktu untuk keluarga menjadi terbatas sebab beban kerja berlebih. “Dosen kecenderungannya (melakukan) proyek. Selain kerja di kampus, dosen bekerja di luar kampus,” jelasnya.   

Lebih lanjut, Muchtar memaparkan bahwa lebih dari setengah responden dosen mengaku merasakan adanya gangguan baik fisik maupun mental. Kata kunci yang sering muncul dalam survei kualitatif yang dilakukan diantaranya; anxiety, depresi, stress kerja, mental health issue, khawatir honor, dan sebagainya. Muchtar mengatakan bahwa beberapa dosen mengaku harus pergi ke psikiater atau psikolog setelah bekerja menjadi dosen karena banyaknya tuntutan pekerjaan. “Tuntutan kerjanya banyak tapi pendapatannya tidak begitu banyak,” tambahnya.

Merespons Muchtar, Amalinda menyatakan bahwa para pekerja kampus sedang mengalami kerentanan. “Apa yang tengah berlangsung saat ini sebetulnya merupakan situasi prekariat (rentan) yang luar biasa di dunia pendidikan tinggi,”  ungkap Amalinda. Artinya, kata Amalinda, neoliberalisasi pendidikan tinggi tidak hanya berdampak terhadap mahalnya biaya pendidikan, tetapi juga tidak kunjung sejahteranya pekerja kampus. 

Mengakhiri tanggapannya, Amalinda turut memberi alasan tentang pentingnya berserikat. Lantaran, ia menyebut mayoritas individu seolah-olah sudah memiliki solusi atas hidupnya sendiri alih-alih menyelesaikan persoalan struktural. “Nah, ini kita sedang mendorong solusi kolektif,” tandasnya. 

Reporter: Finella Kristofani Tarigan

Penulis: Nasywa Putri Wulandari dan Nur Nilamsari

Penyunting: Resha Allen Islamey

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.