REDAKSISuara Fisipol

SURAT CINTA UNTUK FISIPOL FASHION WEEK (FFW)

Dear, rekan-rekan FFW terkasih!

Halo! Bagaimana  kabar kalian? Semoga baik-baik saja, ya! Sebelumnya, terima kasih atas sosialisasi yang telah berlangsung pada hari Minggu, 9 Mei 2021 lalu. Berkat sosialisasi tersebut, kami menangkap bahwa itikad baik acara ini adalah untuk memberi ruang berekspresi bagi mahasiswa/i sekaligus mendukung kesejahteraan UMKM milik mahasiswa FISIPOL di bidang fesyen. Surat ini kami tulis untuk merespons sosialisasi yang sudah disampaikan pada perjumpaan kita yang lalu. Kami rasa, setidaknya ada satu-dua (dan tiga, empat, lima) hal yang masih mengganjal. Oleh karena itu, kami kirimkan surat cinta ini untuk mengungkapkan isi lubuk hati kami yang terdalam untuk kolega-kolega penyelenggara FFW. 

Tidak Cuma Diinginkan Satu-Dua Orang, Lho!

Kami yakin, acara ini pasti tidak hanya diinginkan oleh satu-dua orang saja. Lagipula, bagaimana mungkin acara yang mengatasnamakan FISIPOL hanya mewakili keinginan satu-dua orang saja, ‘kan? Karenanya, kami semakin yakin bahwa acara ini disusun sedemikian rupa untuk merepresentasikan keinginan sebagian besar mahasiswa FISIPOL, bukan sekadar acara yang ditargetkan untuk sekelompok mahasiswa dengan dasar pembahasan sempit dari sekelumit orang. Jelas bukan dong! Mana mungkin, kelompok mahasiswa yang gemar menyuarakan demokrasi di Gejayan main “sembunyi-sembunyian” ala pengusaha tambang pasir Jomboran dan kelapa sawit  Kalimantan? Tentu tidak, kemungkinan semacam itu hanya terjadi di ranah negara yang ruang lingkupnya besar; tidak mungkin terjadi di lingkup fakultas kecil yang hanya dihuni tidak sampai satu persen penduduk Indonesia ini.

Nah, sudah yakin ‘kan kalau hal ini diinginkan banyak orang? Seperti yang dikatakan oleh salah satu panitia, penyelenggaraan FFW mendapat antusiasme tinggi dari mahasiswa dan ramai diperbincangkan dari mulut ke mulut; dari satu ruang chat ke ruang lainnya. Sebab itu, mungkin saja, riset dan pengumpulan data terkait antusiasme konstituen akan menjadi hal yang cukup menghabiskan waktu kolega-kolega DEMA. Selain itu, menurut salah satu Pimpinan DEMA, organisasi tersebut juga memiliki keterbatasan sumber daya, bukan? Tentunya, akan menjadi penghambat kinerja DEMA yang selama ini selalu berusaha aktual jika riset ini dilakukan, ya?

Lagi pula, bukankah representasi merata untuk seluruh konstituen menjadi hal yang tidak begitu penting dari munculnya sebuah kebijakan? Asal kebijakan tersebut sudah tepat sasaran, efisien, efektif, dan akuntabel; suara konstituen bisa dipertimbangkan nanti-nantilah, ya? Seperti kata atasan Kemenparekraf, “Kerja, kerja, kerja!” (Widodo, 2014). Makanya, sudah pasti acara ini dipikirkan dan dikerjakan dengan matang sejak jauh-jauh hari. Tidak mungkinlah, acara bakal diundur hanya demi mengumpulkan respons konstituen dari enam departemen di FISIPOL, ya ‘kan?

Modeling Untuk Semua!

Dalam pemaparan yang diberikan, salah satu rekan panitia FFW mengatakan bahwa konsep acara akan memastikan bahwa seluruh mahasiswa/i FISIPOL dapat mengikuti setiap rangkaian acara. Hal ini dilakukan dengan p̶e̶n̶g̶h̶a̶p̶u̶s̶a̶n̶ penurunan standarisasi fisik bagi model dan aktor yang berpartisipasi. Dalam rekrutmen terbuka pertama yang diselenggarakan beberapa waktu lalu, pihak FFW mencantumkan bahwa tinggi minimal mahasiswa/i FISIPOL yang ingin berpartisipasi adalah 155 cm. Artinya, jika kalian memiliki tinggi 156 cm, sudah cukup bagi kalian untuk melenggang dalam acara ini. Namun, jika tinggi kalian kurang 2 cm saja, minat dan kecintaan kalian terhadap fesyen harus dipendam sedalam-dalamnya di perut bumi. 

Hal ini berarti masih ada fashion enthusiast yang mungkin terpinggirkan hanya karena tinggi badannya tidak mencukupi persyaratan, bertentangan dengan sikap panitia yang ingin tetap inklusif. Meskipun panitia mengatakan ingin membuka rekrutmen gelombang kedua dengan tidak mematok standar yang sama, upaya ini rasanya tidak menyelesaikan masalah tetapi malah menambah masalah baru karena menciptakan adanya rekrutmen dengan dua standar yang berbeda. Lalu, buat apa dibuka rekrutmen kedua? Apakah mengoreksi kesalahan adanya standarisasi (meskipun DEMA menolak klaim adanya standarisasi) atau justru semakin mengakui kalau memang sebelumnya ada niatan untuk membuat standarisasi? 

Catatan Lain dari Buku Harian Kami 

Tidak hanya dua persoalan di atas, terdapat beberapa hal dalam acara sosialisasi tersebut yang kami rasa perlu dipertanyakan kembali. Pertama, semangat “Unifying Local” yang dielu-elukan rasanya kurang diusung selama pemaparan materi. Kami paham jika Unifying Local merupakan tema baru yang diangkat oleh FFW karena tema sebelumnya, yakni Innovating Sustainability, dinilai cukup ambigu. Namun, pergantian tema ini tampaknya tidak terlalu mempengaruhi seluruh konsep acaranya, ya? Kami juga tidak tahu, teman-teman panitia FFW ini hanya mengganti narasi temanya atau memang betul mengganti semangat acaranya? 

Kedua, hal fundamen lain, seperti urgensi dibentuknya FFW juga belum mendapatkan penjelasan yang memuaskan (setidaknya itu yang dirasakan kami, para awak Sintesa). Ketika bertanya mengenai hal ini, kami hanya mendapat jawaban bahwa rangkaian acara ini berangkat dari perhatian DEMA untuk mengembangkan minat dan lini pakaian yang dimiliki teman-teman di FISIPOL. Namun, kami tidak mendapat alasan yang jelas mengapa pelaksanaan FFW begitu penting untuk dilaksanakan saat ini. Mungkin saja, isu fesyen ini dirasa lebih mendesak untuk teman-teman DEMA daripada menjaga terwakilkannya seluruh suara mahasiswa/i FISIPOL. Siapa tahu, ‘kan?

Ketiga, pertanyaan lain yang kami ajukan dan belum mendapat jawaban yang memuaskan adalah mengenai transparansi ada tidaknya kekerasan maupun eksploitasi di dalamnya. Kekhawatiran kami ini berawal dari banyaknya kasus serupa di berbagai industri fesyen sebelumnya. Ya walaupun sebenarnya tidak perlu khawatir juga, sih. Konon katanya DEMA akan menggunakan aplikasi Tik-Tok untuk menyediakan transparansi dan promosi kepada para fashion enthusiast di FISIPOL. Terlepas dari hal apa yang akan ditransparansikan, sebagai seorang Gen-Z, tentu kami sangat menyambut kabar baik ini. Kami percaya seluruh mahasiswa/i FISIPOL memiliki akses terhadapnya sehingga sangat pantas digunakan sebagai platform utama penyampaian informasi transparansi. Amanlah! Sudah ada aplikasi yang dapat menjadi medium penyampaian transparansi; urusan seberapa detail materi transparansi apa saja yang akan dimuat, urusan belakangan sajalah ya. Oleh karena itu, kami sangat percaya bahwa pemilihan aplikasi ini sebagai media transparansi telah melalui banyak pertimbangan sebelumnya sehingga tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Namun, tidak apa,  memang DEMA FISIPOL ‘kan bukan badut, jadi tidak perlu menyenangkan hati semua konstituen mahasiswa/i Fisipol, asal keinginan hati rekan-rekan penggemar fesyen terpenuhi bukan?

Pertanyaan Terakhir untuk Rekan-Rekan FFW

Memang benar, kesannya persoalan ini bukan menjadi masalah besar apabila memunculkan standar-standar fesyen tertentu di FISIPOL pada suatu hari nanti. Jika ada atau tidaknya FFW sama-sama dianggap akan mempengaruhi citra DEMA, manakah pil pahit yang akan ditelan oleh DEMA? Apakah mempertahankan FFW demi kohesivitas DEMA dengan mengorbankan citra dan komitmen DEMA sebagai badan representasi mahasiswa dari konstituen yang sangat beragam baik secara sosial maupun ekonomi serta pro-rakyat kecil? Atau membatalkan FFW demi terjaganya narasi DEMA yang selama ini membela wong-wong cilik?

Terakhir, hingga surat cinta ini terbit, FFW tetap dilanjutkan dan membuka gelombang baru model tanpa ada kriteria yang dibatasi. Namun, pertanyaan baru muncul di benak kami. Apakah hal tersebut berarti bahwa sosialisasi yang dilaksanakan kemarin tidak lain dan tidak bukan hanya sekadar pledoi DEMA? Kemana perginya aspirasi dan kritik yang dijaring saat sosialisasi? Apakah semuanya akan ditindaklanjuti atau sepersekian saja yang diimplementasikan? Kami tunggu ya! Kalau boleh berharap, semoga isi dari surat cinta ini dapat disaring. Maaf, ralat. Maksud kami ditampung, diakomodasi, dan disimpan di tempat terbaik; selayaknya surat cinta dari U̶K̶M̶F̶ ̶b̶a̶r̶u̶ seorang kekasih yang merindukan belahan jiwanya. Jangan hanya dibuang seperti surat dari mantanmu yang katanya menyebalkan itu! 

Salam hangat penuh cinta,

LPPM Sintesa

Penulis: Fariz Azhami Ahmad, Sekarini Wukirasih, Masako Septianingrum Ompusunggu, Achmad Hanif Imaduddin

Penyunting: Refina Anjani Puspita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.