LisensiREDAKSI

ASN Dilarang Berserikat, Kilas Balik dan Diskusi Buku Serikat Pekerja Fisipol

Sumber: dokumentasi pribadi

Rabu (8/11), Serikat Pekerja Fisipol (SPF) menggelar diskusi bertajuk “Sejarah ASN Dilarang Berserikat & Bedah Buku Workers and Democracy: The Indonesia Labour Movement 1949-1957 oleh John Ingleson”. Diskusi yang digelar di Selasar Barat, Fisipol UGM ini menghadirkan Amalinda Savirani, ketua SPF dan Devy Dhian, wakil Divisi Pendidikan & Riset SPF. Diskusi tersebut merupakan respons terhadap tidak kunjung tercatatnya Serikat Pekerja Kampus oleh Suku Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi karena sebagian anggotanya berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN). 

Diskusi dimulai dengan pemaparan buku yang menarik balik mengenai bagaimana pekerja dapat berserikat. Pada pemaparan Amalinda, pengorganisasian pekerja dalam sejarah Indonesia tidak lepas dari entitas Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). SOBSI merupakan serikat yang pertama kali mengorganisasi pekerja di semua sektor, baik publik maupun privat. Amalinda menyebutkan bahwa serikat pegawai pemerintahan yang mengakar di pusat maupun di setiap sektor dapat menjadi hal yang strategis dan terdapat daya tawar. Amalinda mencontohkan fenomena sektor kereta api. “Di sektor kereta api, (serikat) melakukan mogok massal sehingga semua layanan kereta api terhenti,” terang Amalinda.

Amalinda kemudian melanjutkan pembahasan mengenai sektor publik, bab yang paling tebal dari buku tersebut. Dalam penjelasan Amalinda, ASN yang yang sejak tahun 1949-1947 berjumlah 1,5 juta, hanya sekitar 30% yang menjadi pegawai tetap, sisanya adalah pekerja kontak. Pekerja kontrak—yang sebagiannya adalah pekerja harian—tersebut berlangsung tanpa adanya hak dasar, yaitu jaminan sosial. Lantas, pengakuan pekerja kontrak tersebut yang menjadi agenda utama advokasi SOBSI untuk mendorong pengakuan terhadap hak pekerja kontrak. Upaya tersebut dilakukan SOBSI dengan berbagai cara. “Seperti yang kita kenali, serikat pekerja fokusnya pada mendorong terhadap kenaikan upah, tunjangan, dan jaminan sosial,” tegas Amalinda.

Pada puncak diskusi ini, Amalinda memaparkan alasan mengapa ASN sulit untuk berserikat. Adanya pergantian dan perubahan sistem politik sebelum masa reformasi menciptakan hambatan dalam serikat ASN. Selain itu, argumen-argumen yang menyatakan bahwa ASN berbeda dengan pekerja semakin mempersulit ASN dalam berserikat. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Jusuf Wibisono, Menteri Kemakmuran pada masa itu. Meskipun demikian, dalam penyampaiannya, Amalinda menyatakan bahwa ASN bukan merupakan bagian dari buruh. “Identitas ASN itu bukan pekerja, yaitu abdi negara. Karena gitu ya, abdi negara yang mana itu bukan buruh,” paparnya. 

Meskipun telah tercantum di dalam undang-undang bahwa terdapat kebebasan ASN untuk berserikat, hingga detik ini masih banyak yang menganggap ASN dilarang untuk berserikat. Hal tersebut mendorong pekerja-pekerja di kampus melawan anggapan itu dengan mendirikan serikat pekerja kampus. Pembentukan serikat pekerja kampus merupakan bagian dari kumpulan beragam kegelisahan terhadap pemenuhan hak-hak kerja, tetapi mereka takut untuk menyuarakan secara langsung. Lalu mereka mengkontekstualisasikan dengan berserikat dan menjadikan wadah aspirasi kolektif.

Dalam sesi tanya jawab, Pipin, anggota Divisi Advokasi dan Kampanye SPF menegaskan bahwa ia sebagai pekerja kampus perlu memiliki tempat untuk menyuarakan sesuatu. “Kalau nyambat sendiri kesannya jatuhnya cuma curhat, tapi (kalau) ‘sambat kolektif’ (dapat) menjadi indikator evaluasi yang lebih genuine dibandingkan dengan form-form, tools-tools, evaluasi yang ada, yang sangat administratif sangat biopraktis, gitu kan suruh ngisi survei, suruh ngisi apa tapi it doesn’t speak anything gitu, nggak menyuarakan sesuatu, tapi ketika kita ngobrolnya kayak ini, dan ngomongin hal-hal isu-isu penting, yang menurutku setiap orang punya concern,” jelas Pipin.

 

Penulis: Resha Allen Islamey & Fatihah Salwa Rasyid

Penyunting: Najma Alya Jasmine 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.