LisensiREDAKSI

Serial Diskusi Buku Sintesa: Menilik Racun Neoliberal dalam Paradigma Perguruan Tinggi di Indonesia

Sumber: dokumentasi pribadi

Kamis sore (31/8), telah terlaksana serial diskusi bedah buku LPPM Sintesa yang berkolaborasi dengan Fisipol Corner UGM. Diskusi kali ini mengangkat buku dari seorang penulis asal Inggris, John Smyth, dengan judul The Toxic University: Zombie Leadership, Academic Rockstar, and Neoliberal Ideology. Berkegiatan di Selasar Barat Fisipol UGM, tidak hanya mahasiswa Fisipol saja, dosen dari kampus lain pun turut hadir dalam kegiatan ini. Pemateri diskusi ini, antara lain Dr Sigit Riyanto dari fakultas hukum UGM, Muchtar Habibi dari Komite Persiapan Pembentukan Serikat Pekerja Fisipol sekaligus dosen departemen Manajemen Kebijakan Publik, serta Alfina Rosyidah sebagai representasi mahasiswa Fisipol UGM. Diskusi diawali dengan membahas gambaran permasalahan pendidikan di Indonesia saat ini. Menurut Sigit, John Smyth dalam bukunya menggambarkan dengan akurat mengenai realitas kondisi perguruan tinggi Indonesia saat ini. “Sekarang, kita menghadapi situasi kebingungan di dalam pendidikan,” papar Sigit. “Ada beberapa program dari pemerintah pusat yang saya amati dan saya alami menimbulkan nervous.”

Paradigma pendidikan di Indonesia saat ini, khususnya pada perguruan tinggi sendiri, belum mampu untuk menyaingi pendidikan di dunia. Dapat dikatakan bahwa tradisi literasi yang kurang masih menjadi permasalahan utama. Selain itu, kontribusi dari pendidikan tinggi Indonesia yang masih terbatas menjadi gambaran pendidikan Indonesia saat ini. Hal tersebut diakibatkan dari kurangnya efektivitas pengelolaan pendidikan di Indonesia. “Nah, sehingga jangan-jangan persoalan (pendidikan Indonesia) juga ada persoalan autoimun dalam lingkungan pendidikan atau (persoalan) pengelolaan pendidikan sendiri,”  jelas Sigit. 

Beragam persoalan pendidikan di Indonesia tersebut tergambar melalui buku dari John Smyth. Sigit menjelaskan bahwa perguruan tinggi, termasuk UGM sendiri, mulai membentuk lingkungan toxic. Kondisi tersebut dipacu oleh campur tangan neoliberalisme perguruan tinggi. “Aktivitas marketizalism (di kampus) tentunya mengacu pada paradigma atau pendekatan yang sebagaimana dibutuhkan oleh agenda-agenda neoliberal ini,” tutur Sigit.

Racun pendidikan tinggi hari ini, tulis Smyth yang diungkapkan Habibi, berpangkal dari ideologi neoliberal. Secara sederhana, Habibi mengatakan ideologi neoliberal dalam konteks pendidikan tinggi. “Sama saja dengan korporatisasi pendidikan tinggi, bagaimana pendidikan tinggi menjadi kaya korporat,” ujar Habibi. Oleh karenanya, hal yang dijual kampus dewasa ini tentu saja gelar akademik, proses kuliah, dan yang mengkhawatirkan, pengetahuan yang dikapitalisasi.

Lingkungan yang disebut beracun ini dapat dijumpai lewat memudarnya budaya intelektual yang ada di perguruan tinggi, seolah-olah output dari berkuliah hanya menjadi seorang “tukang”. Budaya intelektual, seperti cara berpikir kritis di perguruan tinggi, telah dimatikan oleh sistem neoliberalisme pendidikan. “Bagaimana ada kesempatan berpikir kritis untuk memperbaiki hal yang baru kalau tidak mengkritik sesuatu yang ada sekarang? Critical thinking-nya sudah dimatikan sekarang,” jelas Habibi. 

Racun lain tertera pada sub judul Zombie Leadership. Zombie Leadership digunakan Smyth untuk menggambarkan sesuatu yang sudah mati. Habibi mengungkap, “Yang mati sebenarnya ide-ide fundamentalisme pasar itu, bahwa semua hal itu kalau diserahkan ke pasar akan teratasi dengan dirinya sendiri.”  Pengertian lain untuk menjelaskan apa itu Zombie Leadership dengan mempertanyakan siapa yang menguasai kampus hari ini. Yang menguasai kampus bukan lagi kepemimpinan intelektual, melainkan apa yang ditulis Smyth sebagai manager. “Kepemimpinan di kampus itu perlu diimpor (diisi) oleh orang-orang yang paham tentang kepemimpinan itu ya biasanya dari manajemen,” imbuh Habibi. Imbasnya, kampus bukan lagi menjadi identitas intelektual, melainkan lembaga manajerial yang mengikuti logika pasar.

Muncul pembahasan menarik, bagaimana Academic Rockstar tampil? Sang Rockstar tampil yang tulis Smyth dibahas Habibi sebagai bagian diskusi. Habibi mengemukakan, “Semuanya bermula dari hibah riset yang kompetitif.” Habibi menambahkan, “Hibah riset yang kompetitif kayak gitu, sudah jumlahnya yang penerimaanya dikit, mereka ini teman-temanya kan sudah ditentukan. Para donor itu menggunakan argumen bila riset-riset didanai kalau dia bisa co-op atau deals with real world problem.” Jelas saja, apa yang dimaksud persoalan yang nyata? Tentu saja persoalan yang bermanfaat bagi sistem neoliberal. “Kalau Anda bicara social inequality, ya maaf mas, kita (akan) menagih dana dan Anda enggak akan dapat diperintah, (apalagi) Anda bicara social class, kelas sosial, kapitalisme,” seru Habibi sebagai hal yang mengancam bagi sistem. Jadi, siapa itu Academic Rockstar? Academic Rockstar—yang sebenarnya mereka korban—adalah mereka yang kompromis, melakukan selfcensorship, dan mereka sang peneliti kapitalis.

Dari sudut pandang mahasiswa, neoliberalisasi pendidikan tinggi tentu saja berimbas pada mereka. Selain berimbas terhadap pengeluaran material yang semakin banyak jumlahnya, neoliberalisasi berimbas pula terhadap gaya hidup mahasiswa yang semakin individualis. Penyebab tersebut disebut Alfi sebagai komodifikasi mahasiswa terhadap pasar tenaga kerja. Alfi sebagai mahasiswa sosiologi menceritakan pengamatan yang dialaminya. “Banyak banget mahasiswa yang ikut MBKM atau ikut UKM yang benar-benar mendalami sesuai karir mereka,” curahnya. Dalam cerita lain, Alfi menambahkan, “Juga mahasiswa ini sendiri bersaing gitu dengan teman-teman yang lain (dengan) ikut MBKM dan sebagainya.”

Racun neoliberal pendidikan di Indonesia hari ini dapat dilihat dari diterapkannya privatisasi  bahwa persoalan dan kewenangan hanya ada padanya. Privatisasi perguruan tinggi yang saat ini dilakukan adalah dengan mengubah status kampus menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) di beberapa perguruan tinggi. Ketika diterapkannya PTN-BH, subsidi pemerintah terhadap perguruan tinggi menurun. Konsekuensinya, biaya pendidikan semakin mahal. Oleh karenanya, buku dan diskusi ini relevan untuk membaca kondisi pendidikan tinggi di Indonesia yang semakin menjadi one dimensional authority.

 

Penulis: Fatihah Salwa Rasyid & Resha Allen Islamey

Penyunting: Chansya Beryl Farahdiba

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.