Banyu Langit: Rekam Kearifan Lokal Masyarakat Wotawati Menghadapi Krisis Iklim

Kamis (02/05), Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Critical Pedagogy Indonesia (CPI), Center for Transdisciplinary and Sustainability (CTSS) Institute Pertanian Bogor (IPB), dan Samdhana Institute menyelenggarakan Talkshow bertema “Crisis and Resilience: Water, Climate, Food and Local Wisdom in Wotawati, Gunungkidul, Yogyakarta”. Selain talkshow, acara ini juga diselingi dengan nonton bareng film dokumenter Banyu Langit yang membahas pengetahuan lokal Dusun Wotawati, Gunungkidul dalam menghadapi krisis iklim. Talkshow yang berlangsung di kantor PSPK, dipandu oleh  A.B. Widyanto sebagai moderator. Selain itu,  talkshow ini menghadirkan empat narasumber, yaitu Mohammad Ghofur, Peneliti Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM; Sugeng Bayu Wahyono, Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta; Damayanti, Kepala CTSS Universitas IPB; dan Langit Gemintang M.H., sebagai salah satu tim filmmaker Banyu Langit.

Talkshow dibuka dengan pemutaran film Banyu Langit yang kemudian dilanjutkan oleh Langit dengan meringkas mengenai kondisi masyarakat Wotawati yang menghadapi krisis iklim terutama kekeringan. Masyarakat Wotawati memanfaatkan teknik pertanian tadah hujan untuk mengairi sawah mereka selama musim kemarau. Selain itu, Langit menjelaskan bahwa masyarakat Wotawati juga menggunakan sistem pranata mangsa untuk menentukan siklus musim tanam dan panen berdasarkan pola hujan. Namun, perubahan iklim mengakibatkan ketidakstabilan pola cuaca sehingga sistem pranata mangsa tidak lagi dapat diandalkan. “Saya bisa merasakan perjuangan masyarakat Wotawati menghadapi krisis iklim. Ketika kekeringan mereka susah mendapatkan air, tetapi kalau musim hujan sawah mereka akan tenggelam. Ibarat pepatah, ‘maju kena-mundur kena’,” terang Langit.

Melanjutkan pembahasan Langit, Ghofur memberikan tiga catatan yang dapat diambil dari film dokumenter Banyu Langit. Pertama, pranata mangsa tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang ‘mempunyai konotasi kuno’. Kedua, masalah krisis iklim dapat dihadapi dengan konsep ekologi ruang lokal, yang mana setiap daerah mempunyai caranya tersendiri, seperti masyarakat Wotawoti dengan kepercayaan pranata mangsanya. Ketiga, antara praktik pengetahuan tradisional dengan sains modern yang mencakup penelitian ilmiah tidak dapat dipisahkan. “Sudah banyak penelitian ilmiah yang menunjukkan jika pengetahuan lokal memberikan wawasan baru terhadap perubahan iklim sehingga dapat membantu mengembangkan strategi adaptasi bagi masyarakat lokal,” kata Ghofur. 

Panel diskusi dilanjutkan oleh Bayu dengan membahas penyebab permasalahan pertanian Indonesia yang tidak adanya keragaman dalam produktivitas penanaman pertanian karena instrumen kebijakan negara yang digerakkan oleh global. Menurutnya, tindakan ini membuat keragaman dan kearifan lokal yang telah dibangun lama-lama menjadi pudar. “Era Orde Baru menghancurkan ketahanan dan kedaulatan pangan karena pertanian diarahkan sebagai sarana utama pertumbuhan ekonomi. Petani menjadi tidak punya keragaman serta pengetahuan lokal,” serunya. 

Pembahasan terakhir oleh Damayanti datang dari konsep transdisiplin. Ia membawa teman-teman dari bidang non pertanian untuk melintasi disiplin ilmu. Berangkat dari perkataan Bayu untuk jangan hanya mengukur suatu hal dengan sains, Damayanti menjelaskan bahwa transdisiplin adalah bidang yang tepat untuk mengukur suatu hal karena mengintegrasikan dua bidang, baik pengetahuan sains maupun pengetahuan tradisional. “Nah, konteks mengenai transdisiplin membicarakan bahwa bisa tidak ya sains ini bertemu dengan bidang ini,” ucapnya.

Damayanti melanjutkan permasalahan krisis iklim yang dihadapi Dusun Wotawati. Ia menyatakan bahwa terdapat perbedaan cara pengembangan pengetahuan antara pengetahuan sains dan pengetahuan tradisional. Menurutnya, sains membuat seseorang untuk berpikir secara reduction-based agar memahami keseluruhan hubungan antar bagian-bagian dalam sistem. Sedangkan cara berpikir pengetahuan tradisional adalah dengan sistem, yang artinya untuk memahami keutuhan dari sistem tidak perlu mendefinisikan karakteristik dari bagian-bagiannya. “Transdisiplin harus diimplementasikan karena titik temu antara reduction thinking dan system thinking dapat membuat masyarakat kuat dalam menghadapi masa depan, termasuk krisis iklim,” ujarnya. 

 

Penulis: Desti Nicawati, Safina Zahra Athaya Firmanie

Penyunting: Nur Intan Rahmasari

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.